Agar RAMADHAN Penuh Rahmat, Berkah, dan Bermakna

Hari ini kita memasuki bulan suci Ramadhan. Banyak hikmah yang bisa kita
petik di bulan suci dan mulia ini, yang semuanya mengarah pada peningkatan
makna kehidupan, peningkatan nilai diri, maqam spiritual, dan pembeningan
jiwa dan nurani.

Kewajiban puasa ini bukan sesuatu yang baru dalam tradisi keagamaan manusia.
Puasa telah Allah wajibkan kepada kaum beragama sebelum datangnya Nabi
Muhammad Saw. Ini jelas terlihat dalam firman Allah berikut, "Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah:
183)

Ayat ini menegaskan tujuan final dari disyariatkannya puasa, yakni
tergapainya takwa. Namun, perlu diingat bahwa ketakwaan yang Allah janjikan
itu bukanlah sesuatu yang gratis dan cuma-cuma diberikan kepada siapa saja
yang berpuasa. Manusia-manusia takwa yang akan lahir dari "rahim" Ramadhan
adalah mereka yang lulus dalam ujian-ujian yang berlangsung pada bulan
diklat itu.

Tak heran kiranya jika Rasulullah bersabda, "Banyak orang yang berpuasa yang
tidak mendapatkn apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan haus" (HR.
An-Nasai dan Ibnu Majah). Mereka yang berpuasa, namun tidak melakukan
pengendapan makna spiritual puasa, akan kehilangan kesempatan untuk meraih
kandungan hakiki puasa itu.

Lalu apa yang mesti kita lakukan? Beberapa hal berikut ini mungkin akan bisa
membantu menjadikan puasa kita penuh rahmah, berkah, dan bermakna:

Pertama, mempersiapkan persepsi yang benar tentang Ramadhan.

Bergairah dan tidaknya seseorang melakukan pekerjaan dan aktivitas, sangat
korelatif dengan sejauh mana persepsi yang dia miliki tentang pekerjaan itu.
Hal ini juga bisa menimpa kita, saat kita tidak memiliki persepsi yang
bernar tentang puasa.

Oleh karena itulah, setiap kali Ramadhan menjelang Rasulullah mengumpulkan
para sahabatnya untuk memberikan persepsi yang benar tentang Ramadhan itu.
Rasulullah bersabda,

"Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan keberkahan. Allah mengunjungimu
pada bulan ini dengan menurunkan rahmat, menghapus dosa-dosa dan mengabulkan
doa. Allah melihat berlomba-lombanya kamu pada bulan ini dan membanggakan
kalian pada para malaikat-Nya. Maka tunjukkanlah kepada Allah hal-hal yang
baik dari kalian. Karena orang yang sengsara adalah orang yang tidak
mendapat rahmat Allah di bulan ini." (HR. Ath-Thabrani) .

Ini Rasulullah sampaikan agar para sahabat - dan tentu saja kita semua -
bersiap-siap menyambut kedatangan bulan suci ini dengan hati berbunga.
Maka menurut Rasulullah, sungguh tidak beruntung manusia yang melewatkan
Ramadhan ini dengan sia-sia. Berlalu tanpa kenangan dan tanpa makna apa-apa.

Persepsi yang benar akan mendorong kita untuk tidak terjebak dalam
kesia-siaan di bulan Ramadhan. Saat kita tahu bahwa Ramadhan bulan ampunan,
maka kita akan meminta ampunan pada Sang Maha Pengampun. Jika kita tahu
bulan ini bertabur rahmat, kita akan berlomba dengan antusias untuk
menggapainya. Jika pintu surga dibuka, kita akan berlari kencang untuk
memasukinya. Jika pintu neraka ditutup kita tidak akan mau mendekatinya
sehingga dia akan menganga.

Kedua, membekali diri dengan ilmu yang cukup dan memadai.

Untuk memasuki puasa, kita harus memiliki ilmu yang cukup tentang puasa itu.
Tentang rukun yang wajib kita lakukan, syarat-syaratnya, hal yang boleh dan
membatalkan, dan apa saja yang dianjurkan.

Pengetahuan yang memadai tentang puasa ini akan senantiasa menjadi panduan
pada saat kita puasa. Ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan kita untuk
meningkatkan kwalitas ketakwaan kita serta akan mampu melahirkan puasa yang
berbobot dan berisi. Sebagaimana yang Rasulullah sabdakan,

"Barang siapa yang puasa Ramadhan dan mengetahui rambu-rambunya dan
memperhatikan apa yang semestinya diperhatikan, maka itu akan menjadi
pelebur dosa yang dilakukan sebelumnya." (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi).

Agar puasa kita bertabur rahmat, penuh berkah, dan bermakna, sejak awal kita
harus siap mengisi puasa dari dimensi lahir dan batinnya. Puasa merupakan
"sekolah moralitas dan etika", tempat berlatih orang-orang mukmin. Latihan
bertarung membekap hawa nafsunya, berlatih memompa kesabarannya, berlatih
mengokohkan sikap amanah. Berlatih meningkatkan semangat baja dan kemauan.
Berlatih menjernihkan otak dan akal pikiran.

Puasa akan melahirkan pandangan yang tajam. Sebab, perut yang selalu penuh
makanan akan mematikan pikiran, meluberkan hikmah, dan meloyokan anggota
badan.

Puasa melatih kaum muslimin untuk disiplin dan tepat waktu, melahirkan
perasaan kesatuan kaum muslimin, menumbuhkan rasa kasing sayang,
solidaritas, simpati, dan empati terhadap sesama.

Tak kalah pentingnya yang harus kita tekankan dalam puasa adalah dimensi
batinnya. Dimana kita mampu menjadikan anggota badan kita puasa untuk tidak
melakukan hal-hal yang Allah murkai.

Dimensi ini akan dicapai, kala mata kita puasa untuk tidak melihat hal-hal
yang haram, telinga tidak untuk menguping hal-hal yang melalaikan kita dari
Allah, mulut kita puasa untuk tidak mengatakan perkataan dusta dan sia-sia.
Kaki kita tidak melangkah ke tempat-tempat bertabur maksiat dan kekejian,
tangan kita tidak pernah menyentuh harta haram.

Pikiran kita bersih dari sesuatu yang menggelapkan hati. Dalam pikiran dan
hati tidak bersarang ketakaburan, kedengkian, kebencian pada sesama,
angkara, rakus dan tamak serta keangkuhan.

Sahabat Rasulullah, Jabir bin Abdullah berkata, "Jika kamu berpuasa, maka
hendaknya puasa pula pendengar dan lisanmu dari dusta dan sosa-dosa.
Tinggalkanlah menyakiti tetangga dan hendaknya kamu bersikap tenang pada
hari kamu berpuasa. Jangan pula kamu jadikan hari berbukamu (saat tidak
berpuasa) sama dengan hari kamu berpuasa."

"Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan dia mengamalkannya
maka Allah tidak menghajatkan dari orang itu untuk tidak makan dan tidak
minum." (HR. Bukhari dan Ahmad dan lainnya)

Mari kita jadikan puasa ini sebagai langkah awal untuk membangun gugusan
amal ke depan.

Ramadhan penuh Keindahan

Tidak lama lagi. Tidak sampai 2 minggu lagi, bulan penuh barakah segera datang. Sambut dengan renungan sejuk. Mungkin sebagian dari kita sudah pernah mendengar dan membaca. Namun apa salahnya kembali diulang untuk mempersiapkan diri menyambut ramadhan

Pernahkah Anda melihat seekor ulat bulu ? Bagi kebanyakan orang ulat bulu memang menjijikkan bahkan menakutkan. Tapi tahukah Anda kalau masa hidup seekor ulat bulu ini ternyata tidak lama. Pada saat nanti ia akan mengalami fase dimana ia harus masuk ke dalam kepompong selama beberapa hari. Setelah itu ia pun akan keluar dalam wujud yang lain : ia menjelma menjadi seekor kupu – kupu yang sangat indah. Jika sudah berbentuk demikian, siapa yang tidak menyukai kupu – kupu dengan sayap yang beraneka hiasan insah alami ? Sebagian orang bahkan mungkin mencari dan kemudian mengoleksinya sebagai hobi ataupun untuk keperluan ilmu pengetahuan.

Semua proses itu memperlihatkan tanda – tanda ke-MahaBesaran Allah. Menandakan betapa teramat mudah bagi Allah Azza wa Jalla untuk mengubah sesuatu dari hal yang menjijikkan buruk dan tidak disukai menjadi sesuatu yang indah dan dapat membuat orang senang memandangnya. Semua itu berjalan melalui suatu proses perubahan yang sudah di atur dan aturan pun ditentukan oleh Allah baik dalam bentuk aturan atau hukum alam maupun berdasarkan hukum yang disyariatkan kepada manusia yakni Al-Qur’an dan Al-HAdits.

Jika proses metamorfosa ini diterjemahkan ke dalam kehidupan manusia, maka saat dimana manusia dapat menjelma menjadi insan yang jauh lebih indah dan momen yang tepat untuk terlahir kembali adalah ketika memasuki bulan suci Ramadhan. Bila kita masuk ke dalam “Kepompong” Ramadhan lalu segala aktifitas kita cocok dengan “metamorfosa” dari Allah, niscaya akan mendapatkan hasil yang mencengangkan; yakni manusia yang berderajat muttaqin yang memiliki akhlaq yang indah dan mempesona. Inti dari ibadah Ramadhan ternyata adalah melatih diri agar kita dapat menguasai hawa nafsu. Allah SWT berfirman : “Dan adapun orang – orang yang takut kepada kebesaran Tuhan dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu, maka sesungguhnya surgalah tinggalnya.”

Semoga Allah Yang Maha Menyaksikan senantiasa melimpahkan inayah-NYA sehingga setelah “kepompong” Ramadhan ini kita masuki, kita kembali pada ke-fitri-an bagaikan bayi yang baru lahir. Sebagaimana seekor ulat bulu yang keluar menjadi seekor kupu – kupu yang teramat indah dan mempesona…aamiin.

Zodiak menurut pandangan islam

Ramalan Anda minggu ini:
Zodiak: Aquarius
Pekerjaan: Mulai menjalankan pekerjaan yang tertunda.
Asmara: Patah semangat dan jenuh.
Keuangan: Rezeki yang diperoleh ternyata tidak sebanding dengan usaha yang anda lakukan.

Ukhti muslimah yang semoga dicintai oleh Allah, tulisan kami di atas sama sekali bukan bermaksud untuk menjadikan website ini sebagai website ramalan bintang, akan tetapi tulisan di atas merupakan kutipan dari sebuah website yang berisi tentang ramalan-ramalan nasib seseorang berdasarkan zodiak. Ya, ramalan zodiak atau yang biasa dikenal dengan ramalan bintang sudah menjadi “gaya hidup” modern anak muda sekarang. Terlebih khusus lagi bagi para pemudi (bahkan muslimah). Namun, alangkah baiknya apabila kita meninjau ramalan bintang ini berdasarkan syariat islam.


Ramalan Bintang Termasuk Ilmu Nujum/Perbintangan

Zodiak adalah tanda bintang seseorang yang didasarkan pada posisi matahari terhadap rasi bintang ketika orang tersebut dilahirkan. Zodiak yang dikenal sebagai lambang astrologi terdiri dari 12 rasi bintang (Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Sagitarius, Capricorn, Aquarius dan Pisces). Zodiak ini biasa digunakan sebagai ramalan nasib seseorang, yaitu suatu ramalan yang didasarkan pada kedudukan benda-benda tata surya di dalam zodiak (disarikan dari website Wikipedia). Dalam islam, zodiak termasuk ke dalam ilmu nujum/Perbintangan.

Ramalan Bintang Adalah Sihir

Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mempelajari ilmu nujum berarti ia telah mempelajari cabang dari ilmu sihir, apabila bertambah ilmu nujumnya maka bertambah pulalah ilmu sihirnya.” (HR Ahmad dengan sanad hasan). Hadits ini dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa ilmu nujum (yang termasuk dalam hal ini adalah ramalan bintang) merupakan bagian dari sihir. Bahkan Rasulullah menyatakan bahwa apabila ilmu nujumnya itu bertambah, maka hal ini berarti bertambah pula ilmu sihir yang dipelajari orang tersebut. Sedangkan hukum sihir itu sendiri adalah haram dan termasuk kekafiran, sebagaimana Allah berfirman yang artinya: “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).” (Qs. Al Baqarah: 102)

Ramalan Bintang = Mengetahui Hal yang Gaib

Seseorang yang mempercayai ramalan bintang, secara langsung maupun tidak langsung menyatakan bahwa ada zat selain Allah yang mengetahui perkara gaib. Padahal Allah telah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa tidak ada yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Dia. Allah berfirman yang artinya: “Katakanlah: Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah.” (Qs. An Naml: 65). Dalam ayat lain, Allah menegaskan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi besok, sebagaimana firmanNya yang artinya “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. Luqman: 34). Klaim bahwa ada yang mengetahui ilmu gaib selain Allah adalah kekafiran yang mengeluarkan dari islam.

Ramalan Bintang = Ramalan Dukun

Setiap orang yang menyatakan bahwa ia mengetahui hal yang gaib, maka pada hakikatnya ia adalah dukun. Baik dia itu tukang ramal, paranormal, ahli nujum dan lain-lain. (Mutiara Faidah Kitab Tauhid, Ust Abu Isa Hafizhohullah) Oleh karena itu, ramalan yang didapatkan melalui zodiak sama saja dengan ramalan dukun. Hukum membaca ramalan bintang disamakan dengan hukum mendatangi dukun. (Kesimpulan dari penjelasan Syeikh Shalih bin Abdul Aziz Alu syaikh dalam kitab At-Tamhid).

Hukum Membaca Ramalan Bintang

Orang yang membaca ramalan bintang/zodiak baik itu di majalah, koran, website, melihat di TV ataupun mendengarnya di radio memiliki rincian hukum seperti hukum orang yang mendatangi dukun, yaitu sebagai berikut:

Jika ia membaca zodiak, meskipun ia tidak membenarkan ramalan tersebut. maka hukumnya adalah haram, sholatnya tidak diterima selama 40 hari. Dalilnya adalah “Barangsiapa yang mendatangi peramal, lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari.” (HR. Muslim)

Jika ia membaca zodiak kemudian membenarkan ramalan zodiak tersebut, maka ia telah kufur terhadap ajaran Muhammad Shallahu alaihi wasallam. Rasulullah bersabda “Barang siapa yang mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka ia telah kufur dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallahu alaihi wasallam.” (Hadits sahih Riwayat Imam Ahmad dan Hakim).

Jika ia membaca zodiak dengan tujuan untuk dibantah, dijelaskan dan diingkari tentang kesyirikannya, maka hukumnya terkadang dituntut bahkan wajib. (disarikan dari kitab Tamhid karya Syeikh Shalih bin Abdul Aziz Alu syaikh dan Qaulul Mufid karya Syeikh Utsaimin dengan sedikit perubahan).

Shio, Fengshui, dan Kartu Tarot

Di zaman modern sekarang ini tidak hanya zodiak yang digunakan sebagai sarana untuk meramal nasib. Seiring dengan berkembangnya zaman, ramalan-ramalan nasib dalam bentuk lain yang berasal dari luar pun mulai masuk ke dalam Indonesia. Di antara ramalan-ramalan modern impor lainnya yang berkembang dan marak di Indonesia adalah Shio, Fengshui (keduanya berasal dari Cina) dan kartu Tarot (yang berasal dari Italia dan masih sangat populer di Eropa). Kesemua hal ini hukumnya sama dengan ramalan zodiak.

Nasib Baik dan Nasib Buruk

Ukhti muslimah yang semoga dicintai oleh Allah, jika ukhti renungkan, maka sesungguhnya orang-orang yang mencari tahu ramalan nasib mereka, tidak lain dan tidak bukan dikarenakan mereka menginginkan nasib yang baik dan terhindar dari nasib yang buruk. Akan tetapi, satu hal yang perlu kita cam dan yakinkan di dalam hati-hati kita, bahwa segala hal yang baik dan buruk telah Allah takdirkan 50 ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi, sebagaimana Nabi bersabda “Allah telah menuliskan takdir seluruh makhluk 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim). Hanya Allah yang tahu nasib kita. Yang dapat kita lakukan adalah berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan hal yang baik dan terhindar dari hal yang buruk, selebihnya kita serahkan semua hanya kepada Allah. Allah berfirman yang artinya “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Qs. Ath Thalaq: 3). Terakhir, ingatlah, bahwa semua yang Allah tentukan bagi kita adalah baik meskipun di mata kita hal tersebut adalah buruk. Allah berfirman yang artinya “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 216). Berbaik sangkalah kepada Allah bahwa apabila kita mendapatkan suatu hal yang buruk, maka pasti ada kebaikan dan hikmah di balik itu semua. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih dan Maha Adil terhadap hamba-hambaNya.

Larangan mendekati zina


وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا

Wa Lā Taqrabū Az-Ziná 'Innahu Kāna Fāĥishatan Wa Sā'a Sabīlāan


Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS. 17:32)



Lies mengajukan pertanyaan seperti ini: apa berboncengan dg lawan jenis (tanpa pegang2an dan dg tujuan yg baik), bersalaman dg lawan jenis (sbg tanda penghormatan bagi orang lain) dpt dikategorikan "mendekati zina" ???


Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya tertarik dengan frasa "mendekati zina" yang diterjemahkan dari تَقْرَبُوا الزِّنَا .

Apa yang menarik bagi saya ada penerjemahan ayat tersebut dalam bahasa Indonesia.


Cobalah bandingkan terjemahan dua ayat yang berbeda. Ayat yang saya maksud adalah: QS Al-'Isrā' [017]: 32 dan QS An-Nisā' [004] :43.



وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا

Wa Lā Taqrabū Az-Ziná 'Innahu Kāna Fāĥishatan Wa Sā'a Sabīlāan


Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS. 17:32)




يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا



Yā 'Ayyuhā Al-Ladhīna 'Āmanū Lā Taqrabū Aş-Şalāata Wa 'Antum Sukārá Ĥattá Ta`lamū Mā Taqūlūna Wa Lā Junubāan 'Illā `Ābirī Sabīlin Ĥattá Taghtasilū Wa 'In Kuntum Marđá 'Aw `Alá Safarin 'Aw Jā'a 'Aĥadun Minkum Mina Al-Ghā'iţi 'Aw Lāmastumu An-Nisā' Falam Tajidū Mā'an Fatayammamū Şa`īdāan Ţayyibāanmsaĥū Biwujūhikum Wa 'Aydīkum 'Inna Allāha Kāna `Afūwāan Ghafūrāan




Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (QS. 4:43)



Sudah?


Bagus.


Apa yang Anda peroleh?


Pada ayat 43 surah An-Nisa, terdapat frasa yang mirip dengan ayat 32 surah Al-Isra.

Frasa itu adalah: لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ . Apa terjemahan ayat ini? "Janganlah kamu shalat".

Lalu di mana kata "taqrabu" yang berarti "mendekati" pada terjemahan ayat 43 surah An-Nisa? Mengapa kata mendekati "hilang"?


Apa yang kita pahami dari terjemahan ayat 43 surah an-Nisa bagi saya sangat gamblang: saya dilarang melakukan shalat dalam keadaan mabuk.

Mengapa?

Karena kata "mendekati/taqrabu" tidak lagi dicantumkan dalam terjemahan.

Bandingkan dengan terjemahan ayat 32 surah Al-Isra:

" Dan janganlah kamu mendekati zina..."

Ketika membaca terjemahan ini, timbul sedikit kebingungan. Ini yang dilarang apakah mendekati zina ataukah berzina? Terus, kalau yang dilarang adalah mendekati, berarti boleh dong, berzina. Yang dilarang, toh, hanya mendekatinya saja?


Sekarang coba rasakan dua jenis terjemahan ini:

1.
" Dan janganlah kamu mendekati zina..."

2. " Dan janganlah kamu berzina..."


Menurut Anda terjemahan mana yang lebih "pas"?


Saya memilih terjemahan yang kedua.


Ada tiga alasan mengapa saya memilih terjemahan kedua.


Alasan pertama sudah saya kemukakan. Pada ayat 43 surah An-Nisa, kata "taqrabu" yang berarti "mendekati" tidak ikut diterjemahkan/dicantumkan. Dan ketika kita membaca terjemahan, kita dapat secara langsung memahami bahwa dilarang melakukan shalat dalam kondisi mabuk. Pemahaman secara langsung saya peroleh ketika membaca terjemahan " dan janganlah kamu berzina". Larangan ini jelas.


Kedua. Taruhlah kita tetap menerjemahkan ayat 32 surah Al-Isra dengan "mendekati zina".

Ada pertanyaan yang serta merta timbul dalam benak kita: yang bagaimanakah yang dimaksud perbuatan "mendekati" zina? Dan persis seperti inilah yang kemudian ditanyakan Lies kepada saya.

Adakah perbuatan yang dikategorikan "mendekati" zina?


Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita harus memahami bahwa zina adalah hubungan kelamin/seks yang dilakukan oleh pasangan yang tidak berstatus suami-istri yang sah.

Ada dua kata kunci dalam pemahaman ini, yaitu, hubungan kelamin dan status pernikahan yang sah. Dalam konteks pembicaraan kita sekarang, kita menekankan pada "hubungan kelamin".


Saya ingin kita berhenti sejenak di sini.


Bersikaplah relaks. Regangkan semua otot Anda.


Bagus.


Sekarang, saya ingin Anda membayangkan sebuah peristiwa dimana dua jenis kelamin yang berbeda bertemu, saling berhubungan.


Lihat peristiwa itu sekarang.


Nah, sekarang, cobalah lihat peristiwa yang terjadi sebelum kedua jenis kelamin yang berbeda itu bertemu, saling berhubungan.


Nah, begitu.


Sekarang Anda perlu menjawab pertanyaan berikut ini.


Perbuatan apa yang harus terlebih dahulu terjadi sebelum hubungan kelamin antara pria dengan perempuan terjadi?


...


Apa pun yang Anda bayangkan saat ini, itulah yang paling mungkin kita kategorikan sebagai perbuatan "mendekati" zina.


Jadi, perbuatan apa yang Anda lihat?


Perbuatan yang barusan Anda lihat adalah peristiwa yang paling mendekati terjadinya hubungan kelamin yang dilakukan oleh pasangan yang tidak berstatus suami-istri yang sah.


Perbuatan itulah yang dilarang dilakukan. Bukan berboncengan dan berpegangan tangan, seperti yang ditanyakan oleh Lies.


Masalahnya, jika kita tetap memahami ayat tersebut sebagai larangan "mendekati zina" , maka yang manakah yang dimaksud dengan إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا "perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk"?


Apakah yang dimaksud sebagai perbuatan keji dan jalan yang buruk adalah perbuatan "mendekati" yang sudah Anda lihat tadi?


Tentu saja bukan.

Karena yang dimaksud dengan "perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk" adalah perbuatan zina itu sendiri!


Tidak percaya?


Perhatikan terjemahan ayat 32 surah Al-Isra:

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS. 17:32)